Jakarta, NU Online
Pola
relasi organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tidak bisa sebatas mengandalkan
modernisasi struktur. Memasuki abad ke-2, NU sebagai organisasi harus
mampu mengkombinasi empat pilar kekuatan yang dimilikinya, nasab, sanad,
struktur, dan kultur.
Empat elemen ini,
merupakan penataan pola relasi yang baik organisasi NU menghadapi
perkembangan zaman yang semakin dinamis dan terbuka. Sebaliknya, justru
yang terjadi hari ini adalah rasa memiliki yang semakin kuat, tanpa
diiringi rasa tanggungjawab.
“Banyak pihak
lebih mudah mengatasnamakan NU sebagai jalan pintas mendapat keuntungan,
tanpa memikirkan dampaknya buat organisasi, termasuk warga NU,” kata
Hery Haryanto Azumi, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (Wasekjen PBNU), Ahad (23/10/2016).
Ia
menegaskan, hubungan nasab dan sanad, harus teraplikasi dalam bentuk
tanggungjawab struktural dan kultural. Hal ini dilakukan agar setiap
program kerja yang digagas bisa terukur. Terutama mengukur setiap risiko
dari program kerja.
“Implikasinya terhadap
masa depan organisasi NU itu juga harus dipetakan,” tegas mantan Ketua
Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) ini.
Kemudian
dimana pentingnya Sanad? Ditanya demikian, Hery-demikian ia akrab
disapa menambahkan, adalah menanamkan posisi pengetahuan sebagai pondasi
dalam perjalanan peradaban manusia. Harapannya, ada gambaran tentang
peta pengetahuan secara sektoran dan sebarannya.
Berarti,
lanjut dia, menjadi penting kekuatan sumber daya di tubuh organisasi
NU. Sumber daya sosial menjadi basis legitimasi bagi keberadaan NU itu
sendiri, baik itu kemarin, hari ini dan masa mendatang. “Ini perlu
dukungan kemampuan sumber daya manusia pada struktur organisasi NU,
sebagai pelaksana mandat sosial,” ujarnya lagi.
Modernisasi
struktur yang terjadi hari ini, tidak mengikutsertakan nasab dan sanad.
Kondisi ini berbahaya dan justru bisa memicu konflik kekuatan
struktural dengan kultural, Hery menambahkan.
Seharusnya,
struktur NU mampu mengakomodir kepentingan atau kebutuhan warga NU,
dengan melakukan social service sebagai upaya membangun komunikasi
timbal balik - simbiosis mutualisme antara jam’iyyah dengan jamaah.
“Semua
tidak akan berjalan baik, apabila nalar kekuasaan dan mencari
keuntungan lebih dominan. Sense of belonging harus seiring dengan sense
of responsibility,” tegasnya.
Untuk itu ke
depan, lanjut dia, organisasi NU harus mengintegrasikan empat kekuatan
tadi, nasab, sanad, struktur dan kultur, yang fungsinya saling
menguatkan. “Cara yang bisa menyatukan kekuatan itu melalui
permusyawaratan ulama. Permusyawaratan ulama ini menjadi pengikat,”
tandasnya. (Aras/Fathoni)
0 Comments