Ide kuat untuk mendirikan wadah khusus bagi perkumpulan perempuan
Nahdlatul Ulama sebetulnya muncul sejak tahun 1938. Meskipun, peringatan
hari lahir Muslimat Nahdlatul Ulama, yang menjadi produk final dari
gagasan tersebut, dihitung sejak tahun 1946. Para perempuan NU melihat
adanya kebutuhan untuk mendirikan organisasi tersendiri. Mereka yang
sudah berperan di banyak sektor merasa belum terkonsolidasi dengan
maksimal karena belum ada wadah formal yang menggerakkannya.
Lebih
luas lagi, para perempuan NU merasakan organisasi khusus penting
didirikan bukan semata karena tuntutan sejarah perjuangan kemerdekaan
tetapi juga didorong oleh keprihatinan yang mendalam atas keadaan,
sikap, pandangan, dan perlakuan yang kurang adil terhadap perempuan.
Muktamar
NU ke-13 di Menes, Banten, 1938 menjadi momen awal gagasan mendirikan
organisasi perempuan NU itu muncul. Dua tokoh, yakni Ny R Djuaesih dan
Ny Siti Sarah tampil sebagai pembicara di forum tersebut mewakili jamaah
perempuan. Ny R Djuaesih secara tegas dan lantang menyampaikan urgensi
kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi sebagaimana kaum
laki-laki. Ia menjadi prempuan pertama yang naik mimbar dalam forum
resmi organisasi NU. Secara internal, di NU ketika itu juga belum
tersedia ruang yang luas bagi jamaah perempuan untuk bersuara dan
berpartisipasi dalam penentuan kebijakan. Ide itu pun disambut dengan
perdebatan sengit di kalangan peserta Muktamar.
Setahun kemudian,
tepatnya pada Muktamar NU ke-14 di Magelang, saat Ny Djuaesih mendapat
tugas memimpin rapat khusus wanita oleh RH Muchtar (utusan NU Banyumas)
yang waktu itu dihadiri perwakilan dari daerah-daerah di Jawa Tengah dan
Jawa Barat, seperti Muntilan, Sukoharjo, Kroya, Wonosobo, Surakarta,
Magelang, Parakan, Purworejo, dan Bandung. Forum menghasilkan rumusan
pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi NU, masyarakat,
pendidikan, dan dakwah.
Rumusan tentang pentingnya peranan wanita
NU dalam organisasi kian menemukan sosok formalnya ketika berlangsung
Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahun 1940, yakni dengan diterimanya
rumusan tersebut lengkap dengan anggaran dasar dan pengurus besarnya.
Hanya saja, kala itu Muktamar belum mau memberikan pengakuan secara
resmi.
Akhirnya pada tanggal 29 Maret 1946, bertepatan tanggal 26
Rabiul Akhir 1365 H, keinginan jamaah wanita NU untuk berorganisasi
diterima secara bulat oleh para utusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto.
Hasilnya, dibentuklah lembaga organik bidang wanita dengan nama
Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) yang kelak lebih populer disebut
Muslimat NU. Hari inilah yang di kemudian hari diperingati sebagai hari
lahir Muslimat NU sampai sekarang. Pendirian lembaga ini dinilai relevan
dengan kebutuhan sejarah. Pandangan ini hanya dimiliki sebagian kecil
ulama NU, di antaranya KH Mohammad Dahlan, KH Abdul Wahab Chasbullah,
dan KH Saifuddin Zuhri.
Dalam perjalanannya, melalui Muslimat NU
para perempuan NU mulai menapaki perjuangan yang lebih mantap dan
percaya diri. NU sebagai organisasi induknya tetap menjadi garis
ideologi dan perjuangan yang tak boleh dilanggar. Dalam kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, NOM menjadi kekuatan baru yang
penting, khususnya dalam isu-isu keperempuanan. Atas dasar prestasi dan
kiprahnya yang demikian, Muktamar NU ke-19 di Palembang pada tahun 1952,
Muslimat NU memperoleh hak otonomi. Muktamirin sepakat memberikan
keleluasaan bagi Muslimat NU dalam mengatur rumah tangganya sendiri
serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya di medan
pengabdian. Sejak menjadi badan otonom NU, Muslimat lebih bebas bergerak
dalam memperjuangkan hak-hak wanita dan cita-cita nasional secara
mandiri.
Dalam perjalanannya, Muslimat NU bergabung bersama
elemen perjuangan wanita lainnya, utamanya yang tergabung dalam Kongres
Wanita Indonesia (Kowani), sebuah federasi organisasi wanita tingkat
nasional. Di Kowani, Muslimat NU menduduki posisi penting. Beberapa
tokoh Muslimat NU ditunjuk menjadi salah satu ketua, seperti Ny
Machmudah Mawardi (1956-1965), Ny HSA Wahid Hasyim (1966-1968), Ny Asmah
Syachruni (1968-1973), Dra Farida Purnomo (1978-1981), dan Ny Aisyah
Hamid Baidlowi (1995-1998). (Mahbib)
Diolah dari buku "50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara & Bangsa", 1996 (Jakarta: PP Muslimat NU)
0 Comments