Dalam keseharian, setiap orang diharuskan untuk selalu menambah
kebaikan dan selalu bertambah baik setiap harinya. Seperti kata pepatah:
hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Ketika seseorang berhenti
dan merasa sudah cukup dengan apa yang sudah dilakukan, maka itu adalah
hal yang kurang bisa dibenarkan.
Begitu
pun dalam sikap beragama kita. Sedari mula kita diajarkan untuk menempuh
satu persatu ajaran Islam, melaksanakan kewajiban dan kesunnahan yang
telah diajarkan oleh Rasulullah dan ulama yang bisa diteladani. Tentunya
tidak bisa berhenti di situ. Banyak ilmu Allah yang belum diketahui.
Pemahaman dan perilaku beragama kita tidak boleh dirasa puas dengan
capaian-capaian tertentu.
Puasa Ramadan, adalah
bagian dari syariat Islam, bahkan dikenal sebagai rukun Islam. Allah
memerintahkan umatnya yang beriman untuk menunaikan puasa, dengan tujuan
menjadi orang yang bertakwa. Ketakwaan ini akan menghantarkan pelaku
puasa menjadi hamba yang dikasihinya, karena sebagaimana disebut dalam
banyak ayat Al Quran: “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
bertakwa.”
Bagaimana ketakwaan seorang hamba sehingga bisa mendekatkan seseorang kepada Allah? Kitab Kifayatul Atqiya’wa Minhajul Ashfiya’ karya
Sayyid Al Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad Dimyathi menjelaskan
bahwa takwa adalah pusat segala sumber kebahagiaan. Takwa diartikan
sebagai sikap melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
baik yang bersifat lahir maupun bersifat batin karena mengenal kuasa dan
keagungan Allah.
Kitab yang menjadi syarah dari kitab Hidayatul Adzkiya’ila Thariqil Awliya’ karya
Syekh Zainuddin Al Malibari ini menyebutkan bahwa menjaga ketakwaan dan
menjauhi hawa nafsu itu ditempuh dengan mengamalkan syariat, thariqat,
dan hakikat.
Disebutkan dalam syair:
فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَ طَرِيْقَةٍ # كَالْبَحْرِ ثُمَّ حَقِيْقَةٍ دُرٌّ غَلَا
Syariat itu seperti kapal, dan thariqat itu seperti lautan. Dan Hakikat adalah mutiara (di lautan) yang bernilai mahal.
Lebih lanjut disebutkan, bahwa seseorang yang hendak mencapai derajat muttaqin dan
dekat dengan Allah, harus menempuh laku syariat. Ia harus mau “naik
kapal” yang telah ditetapkan oleh Allah, menekuninya dengan konsisten.
Tidak mungkin seseorang akan mampu mengarungi lautan yang luas, tanpa
naik kapal terlebih dahulu. Ia pun jadi tak kenal lautan, tak tahu
keadaan. Demikian kurang lebih dalam Kifayatul Atqiya’.
Thariqat
sebagai proses suluk dimaknai sebagai sikap untuk menahan diri,
konsisten dalam beramal, serta menjaga dari hal-hal yang merusak
kebaikan suatu amal. Jika syariat menekankan pada memenuhi rukun dan
menjauhi hal-hal yang dapat membatalkan keabsahan ibadah, maka thariqat
sebagai proses menuju derajat muttaqin
ini adalah menjaga diri dari hal-hal yang mengurangi nilai ibadah
tersebut. Jadi bagaimana bisa mencapai derajat yang lebih tinggi tanpa
mengenal syariat secara mencalam terlebih dahulu?
Setelah
menaiki kapal syariat, lalu ngelangi, mengarungi lautan proses
thariqat, maka diharapkan seorang hamba bisa menjaga ketakwaan, menjaga
diri dari menuruti hawa nafsu dan godaan setan, lantas menemukan
mutiara-mutiara hakikat ibadah sehingga bisa dekat dengan Allah. Semoga
syariat puasa yang kita amalkan ini tidak berhenti pada taraf yang
dikatakan Rasulullah: “Banyak orang puasa yang tidak mendapat apa pun
kecuali lapar dan dahaga”, serta semakin bisa mendekatkan diri kepada
Allah sebagai orang yang bertakwa. Wallahu a’lam. (NU Online, Muhammad Iqbal Syauqi)
0 Comments