Medsos Harus Menjadi Perekat Keutuhan Bangsa

JAKARTA – Sebagai sebuah negara bangsa, hari ini kita menghadapi tiga problem kebangsaan, demikian disampaikan Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas saat diskusi Mengaji dan Mengkaji Islam, Medsos, dan Generasi Milenial di Gedung GP Ansor, Jakarta Pusat, Senin (25/9).

Diskusi tersebut menghadirkan pembicara Rais Syuriyah PCINU Australia Nadirsyah Hosen, pengurus PP GP Ansor Nuruzzaman, dan Haidar Bagir. Sementara moderatornya Tsamara Amany.
Pria yang akrab dipanggil Gus Yaqut itu menjelaskan, “problem pertama adalah kelompok yang mempertanyakan kembali konsensus dasar negara, padahal para founding father kita telah menetapkan konsensus dasar tersebut sebagai landasan NKRI,” urainya.

Gus Yaqut melanjutkan, kelompok tersebut juga merasa paling Islam, dan menganggap masyarakat Indonesia harus menjadi warga yang seragam seperti pemikiran mereka.
Kelompok kedua, sambung Gus Yaqut, adalah menganggap kelompok lain yang tidak seperti mereka, bukan sebagai Islam. “Saya pun mereka anggap tidak Muslim, karena mereka anggap saya berbeda,” kata Gus Yaqut.

Kehadiran kedua kelompok tersebut, diperparah oleh adanya kelompok ketiga, yaitu yang memilih diam saja padahal menyadari adanya kedua kelompok lainnya.
Ia mengimbau masyarakat agar berani menyuarakan penolakan terhadap ketiga kelompok itu. “Harus berani bersuara untuk selamatkan Indonesia. Teknologi dan perkembangan media social harus bermanfaat bagi keutuhan bangsa dan negara,” tegasnya.

Sementara itu, dalam pengantarnya Rais Syuriyah PCINU Australia dan Selandia Baru Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) menyatakan, pesatnya perkembangan teknologi informasi tidak mengubah pola pikir orang fundamentalis menjadi modern. “Era teknologi ini, tidak mengubah orang fundamentalis jadi modern. Orang-orang yang memiliki smartphone tidak lantas menjadi smart, jadi pintar,” kata Gus Nadir disambut riuh tawa hadirin.

Gus Nadir menjelaskan bahwa hal tersebut dibuktikan dengan menyeruaknya hoax dan hate speech. Banyak orang tidak pintar dan tidak memerhatikan etika bermedsos. “Ketika seorang pemuda menghina Gus Mus atau ketika Profesor M Quraish Shihab disuruh membaca syahadat oleh seorang netizen, mereka-mereka itu tidak menggunakan etika dalam bermedia. Mereka tidak paham siapa yang mereka hina,” tutur Gus Nadir.

Generasi milenial memang lebih banyak berkomunikasi lewat layar ketimbang tatap muka langsung. “Mungkin mereka pikir, yang dihadapi bukan siapa-siapa melainkan hanyalah sebuah layar,” kata dosen hukum di Monash Law School Australia itu. (ansornews.com)

Post a Comment

0 Comments