Mengapa tanggal 22 Oktober layak disebut sebagai Hari Santri Nasional?
Sejatinya peristiwa apa yang terjadi pada tanggal tersebut? Serta apa
yang melatarbelakangi tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari Santri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab dengan kehadiran buku ini,
sebuah buku yang ditulis oleh para ahli sejarah mengingat banyak sejarah
kaum santri yang dimarjinalkan oleh sejarah nasional itu sendiri.
Dalam kata pengantarnya, KH. Salahuddin Wahid mengatakan bahwa pada akhir 2011, ia cukup terkejut dengan sebuah statement yang
menyatakan bahwa Resolusi Jihad itu tidak pernah terjadi, bahkan
Resolusi tersebut merupakan sebuah legenda. Oleh karena itu beliau
memerintahkan Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng untuk
mencari bukti keras kesejarahannya pada media-media cetak yang terbit
akhir Oktober 1945 pada Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional di
Jakarta. Oleh sebab itu buku ini ditulis dengan disertai scan
hasil bukti-bukti kesejarahan, sehingga buku ini layak untuk dibaca oleh
siapa pun termasuk para peneliti yang akan melakukan penelitian lebih
lanjut tentang Resolusi Jihad.
Pada bagian pertama buku ini
menjabarkan tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara. Ada beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh sejarawan terdahulu, ada yang menyatakan
bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari India Selatan (Gujarat dan
Malabar), pendapat kemudian ada yang menyatakan bahwa Islam Nusantara
berasal dari Arab, Ada pula yang mengatakan dari Persia. Tentang
penyebaran Islam di Nusantara penulis buku ini dengan lantang mengatakan
bahwa Islam masuk di Nusantara dan disebarkan oleh para Wali Sanga
(Sebuah julukan yang mengandung suatu perlambangan suatu dewan
wali-wali, dengan mengambil angka sembilan yang sebelum pengaruh Islam
sudah dipandang sebagai angka yang keramat). Sedangkan tentang proses
saluran Islamisasinya, disalurkan melalui saluran perdagangan, saluran
kebudayaan, saluran perkawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan
serta saluran politik. Dalam bab ini juga, penulis menolak
pandangan-pandangan para sejarawan yang mengamini bahwa kehadiran Islam
di Nusantara dilakukan dengan pedang, agresi penyerangan ke Majapahit.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa tumbuh dan berkembangnya Islam bersamaan
dengan terjadinya perang saudara Paregreg di Majapahit sehingga
menyebabkan konflik internal yang berkepanjangan sampai berujung pada
keruntuhan Majapahit. Sehingga sesuai hukum logika, keruntuhan Majapahit
disebabkan faktor internal dan bukan dari faktor eksternal, sebab
faktor eksternal hadir sebagai alternatif yang bukan kekuatan determinan
yang bersifat destruktif.
Pada bagian kedua, penulis buku ini
memaparkan tentang dinamika pemikiran serta gerakan politik yang
dilakukan oleh Nahdlatul Ulama. Misalnya pada Muktamar NU ke-2 di
Surabaya, NU menyoroti persoalan kemasyarakatan, seperti masalah
pernikahan di bawah umur yang ditangani pemerintah Hindia-Belanda yang
banyak menyimpang dari hukum fiqih. Dalam muktamar ini juga meminta
kepada pemerintah untuk memasukkan kurikulum agama Islam pada setiap
sekolah umum di Jawa dan Madura. Juga dibahas dan diputuskan hukum
menyerupai orang Belanda dalam hal berpakaian, misalnya pakai celana,
dasi, topi serta sepatu hukumnya adalah Haram, apabila niat menyerupai
itu dimaksudkan untuk seluruhnya termasuk kesombongannya, kekafirannya
serta kegagahannya. Tapi untuk sekedar mode maka hukumnya boleh dengan
pertimbangan tidak boleh melanggar batas aurat yang sudah ditentukan
oleh Islam. (Hlm. 113-114). Juga pada muktamar ke-4 NU membentuk Lajnatun Nasihin (Sebuah
komisi propaganda untuk menyebarkan NU ke berbagai daerah) yang
dibentuk oleh Kiai Shaleh Banyuwangi dengan anggota KH. Hasyim Asy’ari,
Kiai Ridwan, Kiai Asnawi Kudus dan Kiai Muharram Kediri pada Majelis Khamis (Komisi Lima).
Pada
bab ini juga dibahas bagaimana pandangan NU terhadap pemerintahan
Hindia-Belanda serta pemerintahan Jepang, mengingat terdapat tanggapan
serta kritik dari beberapa peneliti sejarah akan sikap inkonsistensi NU
terhadap pemerintahan saat itu, kita ambil contoh bahwa NU selalu
kooperatif terhadap koloni sebelum diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta,
tetapi setelah itu NU justru melawan serta memerangi koloni yang datang,
Hal ini dijawab oleh penulis bahwa pada masa pendudukan Hindia-Belanda
ataupun Jepang (hingga 1945), Indonesia termasuk Darul Islam sehingga
pemerintahan Hindia-Belanda serta Jepang termasuk dalam pemerintahan
yang sah (bis Syaukah), pendapat tersebut diperkuat oleh hasil
keputusan Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin. Hasil tersebut menjadi
momentum kebangsaan NU karena diputuskan status wilayah Indonesia
termasuk Darul Islam. Keputusan ini berdasarkan pada rujukan karya
al-Hadrami pada Bughyatul Mustarsyidin pada bab al-Hudnah wa al-Imamah.
Tetapi pada masa kemerdekaan Indonesia (1945-1950), NU berubah sikap
dengan dikeluarkannya keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwekerto yang
menyatakan bahwa pentingnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia sesuai hukum Islam, sehingga Indonesia dijadikan sebagai Darul Harb (Wilayah
Perang) yang mewajibkan setiap warga negara untuk melawan penjajah yang
diperkuat dengan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945.
Pada
bagian ketiga membicarakan secara tuntas dan heuristik tentang Resolusi
Jihad yang difatwakan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari serta
kapasitas beliau sebagai seorang mufti serta pemegang Ijazah Hadist
Shahih Bukhari ke-24. Suatu ketika Presiden Soekarno mengirim utusannya
untuk menemui beliau dengan tujuan meminta fatwa beliau dengan rujukan
Gunseikanbu (Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia) bahwa KH. Hasyim
Asy’ari termasuk orang yang sangat terkemuka di Jawa. Melalui utusannya
beliau bertanya “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela al-Quran. Sekali lagi membela tanah air?” Pertanyaan
tersebut direspon oleh Kiai Hasyim Asy’ari dengan dikeluarkannya Fatwa
jihad yang kemudian diperkuat oleh Resolusi Jihad hasil Musyawarah Ulama
NU se-Jawa dan Madura di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945 yang
mana resolusi tersebut memiliki dampak yang luar biasa besar dimulai
dengan solidaritas umat, Berdirinya Laskar Sabilillah dan laskar
Hizbullah serta kongres Masyumi yang merespon resolusi tersebut hingga
pada puncaknya pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya.
Pada
bagian keempat atau bagian terakhir, Penulis membahas tentang politisasi
sejarah Indonesia. Menurut penulis, masa lalu terdiri dari dua hal,
yaitu fakta sebagaimana ia terjadi, apa adanya serta pemikiran dari para
sejawan sehingga disebut ada apanya, oleh sebab itu banyak para
sejarawan kelas atas yang ingin mengkerdilkan bahkan menghapus peran
para santri atau pun kiai dan pondok pesantren dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Ijtihad untuk memperjuangkan atau pun meluruskan
sejarah tersebut merupakan kewajiban yang harus sesuai dengan fakta riil
atau yang biasa disebut apa adanya.
Data Buku
Judul : Resolusi Jihad; Perjuangan Ulama: dari menegakkan Agama hingga Negara
Penulis : Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng
Penerbit : Pustaka Tebuireng
Terbitan : I, 2015
Tebal : xx + 236
ISBN : 978-602-8805-36-0
Peresensi : M Ichwanul Arifin, mahasiswa FUF UIN Sunan Ampel Surabaya/Kader PC IPNU Kota Surabaya
0 Comments