Politik hanyalah alat bukan tujuan. Kaidah ini yang dijadikan tongkat
oleh Kiai Wahab Chasbullah dalam meneguhkan percaturan politik bangsa
kita pada tahun 1914-an hingga 1970-an. Masa perjuangan dan kemerdekaan
Indonesia. Dengan gigih ia menghadapi pancaroba politik yang penuh
tantangan dan tekanan. Haluan politisi yang lahir dari rahim pesantren
ini untuk kemaslahatan rakyat (mashâlihur ra’iyah) bukan kepentingan golongan. Gagasan berliannya terkuak dalam bukunya, “Kaidah Berpolitik dan Bernegara”.
Buku
edisi khusus Muktamar ke-33 NU ini berusaha mengumpulkan karya tulisnya
yang tersebar di pelbagai media massa, buku, catatan muktamar, serta
sidang konstituante. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional pada 6
November 2014 menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik dan bernegara.
Di antara seni politiknya tampak pada ungkapannya, di zaman ini kita
harus pandai berdiplomasi dalam menghadapi Nippon. Sama-sama bersuara Hu tetapi artinya bisa berbeda. Ada Hu yang artinya huntalen (telanlah) dan ada yang Hu artinya hucolono
(lepaslah), (hal. 115). Nah, bagaimana hubungan Indonesia dengan negara
lain (misal, Cina) di periode Kabinet Kerja sekarang ini?
Kaidah kenegaraannya tegak kokoh dan menjadi telekan dalam pengabdiannya pada negara dan bangsa. Ia menyebutkan dalam bukunya yang cover merah
itu, kita berperan dan membela negeri ini, serta mampu menempatkan diri
secara benar. Terlibat dalam setiap urusan. Bahkan harus berani menjadi
pelopor dalam bidang yang pihak lain tidak bisa mejalankan, (hal. 69).
Namun ironis bila melihat kancah politisi dan negarawan hari ini. Tipis.
Atas nama rakyat ‘sejahtera’ namun ‘jerat’ rakyat.
Menyelami
samudera perjuangannya untuk kebangkitan Indonesia kita menemukan
mutiara kaidah, bahwa sang kreator inilah tokoh pertama yang memaknai
nasionalisme yang meng-cover nilai Islam dan me-revere pada
nilai sejarah budaya Nusantara. Nasionalisme Indonesia. Hal ini
memudahkan penerimaan konsep Pancasila. Bung Karno menyebutkannya pada 1
Juni 1945. nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme yang
berkibar di Barat. Ide kiai tersebut mengakomodir hubungan simbiosis
mutualistis antara agama dan negara. Proyek politik Nusantara ini telah
terwujud dalam bentuk Nahdlatul Wathon (kebangkitan bangsa) (1914).
Realisasi
politik Nusantaranya adalah dengan mengadakan kajian-kajian keagamaan
dan politik, serta bersilat dalam diplomasinya. Ini sebagai penyebaran
gagasan nasionalisme yang berwadahkan Tasywirul Afkar (gerakan
pemikiran). Tujuan utamanya untuk membangun Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau yang lebih kita kenal dengan istilah NKRI. Karena pada
masa itu penjajahan Belanda masih membelenggu bangsa.
Sepak
terjang politiknya meliputi: strategi politik, demokrasi, ekonomi dan
kemandiriannya, penanggulangan pemberontakan, pertahanan nasional,
gerakan kemandirian rakyat, diplomasi internasional, dan tentu saja tak
lupa tentang agama. Salah satu bukti diplomasi internasionalnya, Kiai
Wahab melayangkan surat ke Raja Abdul Aziz bin Sa`ud dengan lima poin
permohonan, di antaranya, untuk meminta kemerdekaan bermazhab bagi
rakyat Hejaz pada salah satu Imam yang empat, Hanafi, Hambali, Maliki,
dan Syafi`ie, (hal. 104-106). Lima permohonan tersebut dikabulkan.
Pejuang
ini mempunyai insting politik yang tinggi. Ia termasuk yang menyetujui
perjanjian San Fransisco 8 September 1951. Alasannya sangat rasional
dalam kebijakan politik luar negeri itu. Argumennya kuat, bahwa jika
Jepang kelak bangkit dan Indonesia tidak ikut menandatangani maka Jepang
akan balas dendam. Kalau suatu ketika Jepang hendak melakukan ekspansi
militernya ke selatan maka Indonesia akan juga dilibas. Rakyat menjadi
korban. Ada dua keuntungan bagi Indonesia yang diungkap oleh Kiai Wahab
dalam penandatanganan San Fransisico, yaitu: harga diri yang bersifat
mental politis dan keuntungan material yang berupa rampasan perang.
Gagasan
sang kreator ini masih banyak yang tidak tersampul dalam buku suntingan
Mun`im DZ. Melihat bukti perjuangannya bagi Indonesia, buku ini belum
seberapa untuk mewakili penampungan ide-ide berliannya, khususnya dalam
percaturan politik Nusantara. Bangsa Indonesia mengakui ketokohan Kiai
Wahab. Figur yang intelek dan politisi yang titis dalam membidik langkah
politiknya. Politisi ini termasuk pejuang `45 yang membawa kemerdekaan
Indonesia dari cengkraman penjajah. Jasa perjuangannya tak cukup diakui
sebagai tokoh Pahlawan Nasional bagi bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini, namun juga, bangsa ini wajib mensyukuri kemerdekaan Indonesia dengan memerdekakan diri dari rantai kemalasan.
Kiai Wahab mewariskan semangat perjuangan. Dari bukunya terlihat keyword sosok
yang lengkap, gabungan antara aktivisme, intelektualisme, dan
spiritualisme. Perjuangan untuk melepas mudarat rakyat. Kiai Wahab
mengisyaratkan, bahwa persatuan sebagai pondasi untuk membangkitkan
kemajuan bangsa, (hal. 118). Senjata paling tajam dan ampuh untuk meraih
mashâlihur ra`iyah adalah kesatuan dan persatuan.
Bangsa
kita saat ini membutuhkan satu arah kesejahteraan bersama di setiap
belahan tanahnya yang gembur subur. Oleh karenanya laik bagi kita
membaca Indonesia dengan lebih komprehensif dan dalam. Kiai Wahab
berjuang di setiap lini. Di antaranya di empat model politik demi
kebangkitan bangsa dan negara, siyâsah tijâriyah (politik perdagangan), siyâsah najjâriyah (politik pertukangan), siyâsah falahiyah (politik pertanian), dan siyâsah hukûmiyah
(politik pemerintahan). Ini konklusi berpolitik dan bernegara Kiai
Wahab. Rumusan pemikiran sang pelopor ini mengeguhkan percaturan politik
Nusantara yang arif dan bijaksana bagi semua!
Data buku
Judul : Kaidah Berpolitik dan Bernegara
Penulis : KH Abdul Wahab Chasbullah
Penerbit : Langgar Swadaya, Depok
Cetakan : II, Januari 2015
Tebal : 164 Halaman
Peresensi : Maghfut MR, staf peneliti ICRS UGM dan Adab UIN Su-Ka Jogja
0 Comments