Jakarta, NU Online
Konflik
yang tak henti melanda sejumlah negara di Timur Tengah dan sejumlah
negara Asia, seperti di Suriah, Palestina, Afghanistan dan Filipina,
menjadi keprihatinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebagai
ikhtiar mendamaikan berbagai konflik tersebut, PBNU menggelar
International Summit of The Moderate Islamic Leader (ISOMIL) sebagai
sarana diplomasi bagi negara Islam yang sedang dilanda konflik.
"Indonesia
sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, serta
posisinya yang netral dalam berbagai konflik internasional. NU juga
punya pengalaman dalam resolusi sejumlah konflik di dalam dan luar
negeri, termasuk di Afghanistan," ujar Ketua Panitia ISOMIL, Imam Aziz,
Jumat (6/5/2016).
Kemelut konflik di Timur
Tengah menurut Imam, bersumber dari radikalisme yang kemudian menyebar
ke seluruh dunia. Radikalisme yang mengatasnamakan agama Islam, kata
Imam, akan terus tumbuh dan menyebar di berbagai tempat, membuat
berbagai konflik sulit terselesaikan.
"Di
sinilah peran aktif Indonesia dalam menjalankan diplomasi internasional
sangat diharapkan banyak pihak. Karena itu NU, menginisiasi pertemuan
para pemimpin dunia Islam, dalam kegiatan ISOMIL. Kami berharap, dari
pertemuan ini lahir resolusi dan kesepakatan antarnegara berpenduduk
Muslim untuk bersama-sama mengakhiri konflik dengan mencegah penyebaran
radikalisme," tandasnya.
NU, kata Imam, akan
mendorong peran aktif para ulama dan tokoh masyarakat dari negara-negara
peserta ISOMIL untuk mengembangkan pemahaman keagamaan Islam yang
moderat dan menggalang konsolidasi global para ulama dan umat Islam
untuk menginisiasi perdamaian.
Ketua Lajnah Ta'lif
wan Nasyr PBNU yang juga Koordinator Media ISOMIL, Juri Ardiantoro
menambahkan, melalui kegiatan ini, Nahdlatul Ulama (NU) dan kalangan
Islam moderat lainnya ditantang untuk menegaskan interpretasi yang
benar, argumentatif dan kokoh, untuk menolak ideologi radikal.
"Bersama
ulama moderat seluruh dunia, NU dituntut untuk menjernihkan, mana
tafsir yang harus ditolak dan mana yang harus dikembangkan. Kemudian
mengajak seluruh dunia untuk mendukung tafsir kalangan moderat dan
memarginalkan tafsir radikalisme," paparnya.
Pengalaman
NU dalam menangani konflik keagamaan di luar negeri, telah terbukti, di
antaranya dengan terbentuknya organisasi NU Afghanistan (NUA) pada
tahun 2014, yang kini telah berkembang dan berdiri di 22 Provinsi di
negara tersebut. Ketua NUA Fazal Ghani Kakar.
"NU
di Afghanistan, telah menyatukan lebih dari 6000 ulama setempat dan
berperan dalam meredakan konflik yang sebelumnya sulit dihentikan di
Afghanistan. Kini jika kita melihat berita tentang Afghanistan, bukan
lagi tentang perang atau konflik antarsuku, tetapi tentang upaya serius
pemerintah menghadang terorisme dan sikap ulama setempat yang menolak
radikalisme," papar Juri.
Sebelumnya, pada Rabu (4/5/2016) lalu, Ketua NUA Fazal Ghani Kakar diundang dalam diskusi yang digelar PCNU Kota Bogor, tentang Dinamika Islam global dan peran NU di Afghanistan.
Dalam
diskusi tersebut, Fazal mengakui bahwa ia dan para ulama setempat
mengadopsi prinsip dan ajaran NU di Indonesia, setelah pihaknya
berkunjung dan mempelajari pola dakwah para ulama NU di Indonesia. Tak
hanya itu, NUA juga mengirimkan para pelajarnya untuk bermukim mengaji
di pesantren dan kuliah di sejumlah Perguruan Tinggi NU di Jakarta.
"Kehadiran
NU di Afghanistan diharapkan menjadi sebuah oase di tengah-tengah
keinginan rakyat Afghanistan yang cinta damai, dan umumnya menganut
ajaran Ahlussunah wal Jamaah," kata Fazal.
Dia
berpendapat NU Afghanistan bisa mencontoh NU di Indonesia, yang katanya
telah menjadi "jiwa bangsa" (jiwa bangsa Indonesia). Dia ingin NU di
Afghanistan menjadi organisasi besar yang dihormati peran karena
semangatnya untuk menyampaikan pesan perdamaian, solidaritas dan
kemanusiaan. Red: Mukafi Niam
0 Comments