Indonesia saat ini telah hampir memasuki fase darurat radikalisme.
Fenomena kekerasan atas nama agama, peristiwa bom bunuh diri yang
menyeret korban, serta merasuknya jaringan teroris-radikal di beberapa
daerah menjadi ancaman nyata. Terlebih, jaringan radikal dari Islamic
State of Irak and Syiria (ISIS) telah masuk ke beberapa kawasan di
Indonesia. Selain itu, fenomena Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) juga
layak direnungkan dalam pertanyaan tentang bagaimana menangkal
radikalisme di negeri ini.
Buku karya Reno Muhammad, “ISIS:
Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam” mencoba membongkar pemahaman
kaum salafi yang menginginkan khilafah serta getol meneriakkan
pengkafiran. Dalam buku ini, Reno Muhammad menggunakan fenomena ISIS
sebagai pintu masuk. Buku ini, diharapkan oleh penulisnya, menjadi
menjadi salah satu elemen mata air yang menginspirasi. Reno Muhammad
dengan jeli menggali latar belakang munculnya ISIS, kemudian menganalisa
kekeliruan takfir, serta kepentingan ekonomi di baliknya munculnya
ISIS di beberapa negara timur tengah. Buku ini juga menawarkan
perspektif deradikalisasi dengan menyampaikan gagasan Islam cinta, untuk
kedamaian antar umat agama di negeri ini.
Dalam buku ini, Reno
Muhammad membongkar kesalahan berpikir kelompok yang menginginkan
tegaknya khilafah. Ada dua argumentasi mendasar, yang disampaikan dalam
buku ini: (1) Jika mendasarkan sistem khalifah pada kepemimpinan Nabi
Muhammad, tentu saja hal ini salah besar. Nabi Muhammad tidak menetapkan
diri sebagai khalifah (dalam artian pemimpin politik), akan tetapi
menggerakkan tata nilai berdasar wahyu dan intuisi; (2) Nabi Muhammad
tidak pernah mengabarkan bahwa agama Islam menjadi agama politik yang
mengatur sistem kenegaraan berbasis agama. Ajaran Islam yang diwartakan
oleh Sang Rasul, menjadi rahmat bagi semesta alam (hal. 127).
ISIS: Jaringan Radikal
Reno
Muhammad melacak bagaimana radikalisme berkembang sebagai kekuatan
politik yang bertemu dengan kepentingan ekonomi. Semangat untuk tajdid
dan melakukan pembaruan, telah dikobarkan oleh barisan Hasan al-Banna,
seorang pembaru asal Mesir. “Pemuda belia itu bernama Hasan al-Banna
(1906-1949). Ia sangat mengesankan, berpikiran kuat,kharismatik dan
dapat menyakinkan orang untuk mengikutinya. Pada sebuah petang bulan
Maret 1928—nyaris berbarengan dengan lahirnya Sumpah Pemuda di
Indonesia—enam pemuda di Ismailiyah, Mesir, datang untuk meminta Hasan
al-Banna bertindak: Kami tidak tahu cara praktis mencapai kemuliaan
Islam dan kesejahteraan kaum muslim. Kami bosan dengan kehidupan yang
dihina dan dikekang ini. Kami melihat orang-orang Arab dan Muslim tidak
memiliki status atau martabat. Mereka tidak lebih dari orang upahan yang
dimiliki orang asing (hal. 7). Dengan demikian, semangat untuk
menegakkan khilafah yang dipahami, sebagai usaha untuk menegakkan
martabat kaum muslim.
Apa yang dicitakan oleh Hasan al-Banna
kemudian bergeser menjadi aksi-aksi kekerasan. Inilah yang menjadi
penyebab bergesernya semangat pembaruan, menjadi aksi kekerasan,
kepentingan kekuasaan dan akses ekonomi berupa monopoli minyak. Hadirnya
ISIS di Timur Tengah, tidak lepas dari latar belakang ini. Rezim Bashar
al-Assad menjadi bagian penting dari tegaknya Suriah, meski digempur
oleh jaringan radikal ISIS dan revolusi Timur Tengah, yang disebut
sebagai musim semi jazirah Arab.
Dalam buku ini, Reno Muhammad
menulis, “Sejak berkuasa pada 2000, Bashar al-Assad menjadi kekuatan
absolut yang tidak bisa digoyahkan oleh para oposisi. Pada mulanya, ia
diharapkan mampu membawa angin perubahan bagi modernisasi ekonomi dan
reformasi politik di Suriah. Akan tetapi, struktur dan kultur politik
telah menyebabkan rezim Bashar al-Assad hanya melanjutkan kepemimpinan
orang tuanya yang dikenal otoriter” (hal. 17).
Mengapa Bashar al-Assad tidak tergoyahkan? Reno Muhammad, menyajikan dalam tiga analisis tentang kuatnya Rezim al-Assad ini. Pertama,
klan al-Assad menguasai sektor militer dan bisnis, yang menjadi tulang
punggung kekuatan politik. Dengan demikian, klan ini menjadi penyangga
solidnya kekuatan politik, militer dan ekonomi di panggung kekuasaan.
Bashar al-Assad didukung oleh orang-orang kuat yang loyak dengan
jaringan keluarga, yang menjadikan posisi pemimpin menjadi tidak
tergoyahkan.
Kedua,
Bashar al-Assad dengan jeli merangkul faksi Syiah Alawi. Kelompok ini,
meski hanya 11 persen dari total penduduk Suriyah, dikenal sangat solid
dan memiliki hubungan emosional kuat antar anggota. Kedekatan Syiah
Alawi dengan Bashar al-Assad ini turut menjadi penguat kekuatan rezim
al-Assad di Suriyah. Juga, jaringan Suriyah dan Iran menjadi kokoh,
karena dukungan kelompok Syiah di belakang Assad.
Ketiga,
al-Assad dengan piawai menggunakan kekuatan militer dan intelijen untuk
mengukuhkan kekuatan politiknya. Status sebagi darurat militer, telah
memberi kewenangan bagi operasi intelijen untuk menghabisi kelompok
oposisi sampai ke akar-akarnya. Inilah yang menjadi sistem militer yang
menguatkan kepemimpinan Bashar al-Assad. Keempat,
al-Assad memegang posisi kunci dalam mengendalikan Partai Baath. Di
Suriyah, partai ini mendapat legitimasi yang kuat, bahkan dapat merekrut
orang-orang penting dari kelompok Sunni dengan menempatkannya di
posisi-posisi strategis. Tentu saja, ini adalah salah satu jaminan
kekuatan politik Bashar al-Assad di negerinya.
Jaringan ISIS yang
menghalalkan kekerasan tentu saja tidak boleh didukung dengan
kesepakatan. Harus ada upaya untuk melawan jaringan ISIS, dengan sistem
deradikalisasi yang integratif. ISIS juga ditolak oleh beberapa tokoh
agama, “Apa yang dilakukan oleh ISIS, tidak diridhai oleh Allah dan
tidak mencerminkan spirit al-Qur’an. Perilaku kekerasan jelas sama
sekali tidak dibenarkan oleh Islam. Muslim yang baru mengangkat pisau
saja sudah mendapat laknat Allah. ISIS juga sudah ditolak oleh
ulama-ulama besar di seantero dunia. Atas dasar tersebut, NU mengajak
masyarakat agar ikut menolak ISIS karena akan mengancam keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkap KH. Said Aqil Siroj dalam
buku ini (hal. 148).
Melalui buku ini, Reno Muhammad ingin
mengajak pembaca untuk memahami jaringan teroris-radikal, serta kemudian
mengupayakan deradikalisasi. Ia mencatat, bahwa kekerasan bukanlah cara
untuk menegakkan syariat Islam. Sejarah mencatat, masuknya Islam dan
penyebarannya ke seluruh penjuru Tanah Air Indonesia, tidak melalui
pertumpahan darah, apalagi ledakan bom. Para Wali, menyiarkan Islam
melalui pendekatan kebudayaan yang sarat kedamaian. Buku ini
mengungkapkan analisis alternatif untuk memahami jaringan
teroris-radikal, serta memberi tawaran bagaimana menghadirkan Islam
cinta, yang penuh kasih sayang dan perdamaian [].
Data Buku:
Penulis : Reno Muhammad
Judul Buku : ISIS: Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam|
Penerbit : Noura Book
Edisi : Desember 2015
ISBN : 978-602-385-055-6
Perensi : Munawir Aziz, pembaca buku (@MunawirAziz)
0 Comments