Gerakan pemuda memiliki peran penting dalam
pergerakan nasional di tengah Indonesia masih dalam kondisi terjajah.
Jiwa, semangat, dan pemikiran mereka dibutuhkan meskipun harus ada motor
penggerak bagi mereka agar energi perjuangannya tumbuh. Semangat
menjaga dan mencintai tanah air harus ditanamkan di dada mereka. Langkah
ini bisa dilakukan diantaranya oleh orang yang lebih tua dan telah
makan garam dalam pergerakan nasional melawan penjajah.
Perlawanan
terhadap penjajah konsisten dilakukan oleh kalangan pesantren, yaitu
santri dan kiai. Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, tercatat hanya
lembaga pendidikan Islam klasik ini yang mampu melakukan perlawanan,
baik secara lahir maupun batin, fisik maupun non-fisik. Tidak bisa
diintervensi oleh politik adu domba Belanda.
Selain riyadhoh
yang setiap hari dilakukan oleh para kiai sebagai bagian dari
perjuangan batin, mereka juga melakukan perang kebudayaan dengan
melarang para santri dan rakyat secara umum untuk meniru gaya pakaian
penjajah. Puncaknya ketika Pendiri NU, Hadratussyekh Muhammad Asy’ari
(1841-1947) mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk
mengusir pasukan sekutu usai Jepang menyerah. Dalam puncak pertempuran
hebat ada 10 November, para santri dan kiai terlibat langsung
peperangan fisik, baik dengan tentara Jepang maupun sekutu.
Gelora
dan semangat perjuangan mereka tidak terlepas dari benih-benih
pergerakan yang dilakukan oleh para kiai jauh sebelum proklamasi
kemerdekaan tercapai bangsa Indonesia dengan mencancapkan ruh cinta
tanah air kepada para generasi muda bangsa.
Ialah
Kiai Haji Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971), ulama asal Jombang, murid
sekaligus teman seperjuangan KH Hasyim Asy’ari, motor pergerakan
perjuangan pesantren dalam melawan penjajah, dan inisiator gerakan
pemuda bernama Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air) melalui Perguruan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang didirikannya pada 1916.
Konsep
cinta tanah air melalui pendidikan ini menyadarkan para generasi muda
agar bersatu melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa Indonesia. KH
Wahab Chasbullah berhasil mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan
atas bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai
Pimpinan Dewan Guru (keulamaan). Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan
dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik menjadi
pemuda yang berilmu dan cinta tanah air.
Bahkan
setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih
dahulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab ciptaan Mbah Wahab
sendiri. Kini lagu tersebut sangat populer di kalangan pesantren dan
setiap kegiatan Nahdlatul Ulama (NU), yakni Yaa Lal Wathan yang juga dikenal dengan Syubbanul Wathan.
Benih-benih cinta tanah air ini akhirnya bisa menjadi energi positif
bagi rakyat Indonesia secara luas sehingga perjuangan tidak berhenti
pada tataran wacana, tetapi pergerakan sebuah bangsa yang cinta tanah
airnya untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Semangat
nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah
pendidikan juga turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar (gerakan pencerahan) yang berdiri tahun 1919 dan Nahdlatut Tujjar (gerakan kemandirian ekonomi). Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische studie club,
Syubbanul Wathan, dan kursus Masail Diniyyah bagi para ulama muda
pembela madzhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya, membangun
semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah.
Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar ini, Kiai Wahab berupaya menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan)
secara luas di tengah masyarakat dengan membawa misi tradisi keilmuan
pesantren. Perjuangan mulia ini tentu harus digerakkan secara
terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan yang ada saat ini
sehingga cita-cita luhur pendiri bangsa untuk memperkokoh Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin kuat dan tak pernah surut.
NU dan Gerakan Sumpah Pemuda
Tidak
bisa dipungkiri, semangat cinta tanah air dari sang inisiator gerakan
pemuda sekaligus sang arsitek pegerakan nasional Kiai Wahab Chasbullah
inilah yang sedikit banyak menginspirasi dan menggerakaan para pemuda
sesudahnya dalam forum sumpah pemuda pada 1928, dua tahun setelah NU
berdiri pada 1926 di Surabaya. Berdirinya NU sendiri merupakan puncak
pergerakan Kiai Wahab yang sebelumnya mendirikan sejumlah perkumpulan
sebagai embrio lahirnya Nahdlatul Ulama.
Satu
tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada 9 Oktober 1927,
para kiai dalam forum tertinggi NU memutuskan untuk menabuh genderang
perang kebudayaan. Dalam perang kebudayaan ini, para kiai NU di
antaranya melakukan pelarangan budaya Belanda yang tersimbol dalam
ornamen mode pakaian.
Keputusan NU tahun 1927
tersebut bentuk perlawanan budaya para kiai terhadap penjajah. Perang
kebudayaan yang digelorakan para kiai NU itu dalam implementasinya
berwujud boikot dan delegitimasi atas budaya yang bersumber dari
penjajah. Perang kebudayaan tersebut secara ekstrem juga berwujud
legitimasi para kiai NU untuk berperang melawan penjajah.
Keputusan
NU tentang perang kebudayaan tersebut secara langsung melahirkan hukum
kewajiban muslim Nusantara untuk berperang mengangkat senjata. Sebab
untuk kali pertama, NU menggolongkan penjajah saat itu sebagai kaum
kafir yang harus diperangi dan ditundukkan. Keputusan NU untuk perang
kebudayaan itu menyebar ke tengah masyarakat. Muslim Nusantara merespon
cepat dengan melakukan pergerakan melawan penjajah. Segala macam
asesoris, ornamen, simbol yang berbau penjajah mendapat penolakan keras
dari masyarakat desa.
Selama satu tahun NU
melakukan perang kebudayaan dengan berbagai konsekuensinya. Babak
selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar
Muktamar sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda. Saat Muktamar NU 1928
tersebut para kiai memutuskan untuk melanjutkan perang kebudayaan
menghadapi penjajah. Para kiai pun menambah agenda baru konfrontasi
dengan Belanda dengan memasukkan isu ekonomi dan politik.
Pada
isu ekonomi para kiai melakukan delegitimasi mata uang penjajah.
Sedangkan isu politik digulirkan dengan mempertanyakan keabsahan
kekuasaan penjajah di bidang keagamaan. Maka menjelang Sumpah Pemuda,
perlawanan para kiai NU maju dua langkah. Pertama, menyisir dari kelemahan mata uang penjajah. Kedua, menyisir dari kelemahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan.
Satu
bulan pasca Muktamar NU ke-3, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928,
Sumpah Pemuda dideklarasikan dengan digawangi oleh Sugondo Djojopuspito,
RM. Djoko Marsaid, Muhammad Yamin, dan Amir Sjarifuddin. Tema besar
Sumpah Pemuda cepat direspon masyarakat mengingat Sumpah Pemuda adalah
bagian dari babak perjuangan anak bangsa, termasuk NU yang sejak awal
sudah melakukan sejumlah perjuangan. Inilah yang dimaksud bahwa NU
adalah bagian dari gerakan sistematik kebangkitan nasional. Termasuk
membangun kesadaran berbangsa para pemuda. (Fathoni-NU Online)
0 Comments