Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah Syekh Muhammad Irfa’i Nahrowi An-Naqsyabandi
Ciamis,
Syekh
Muhammad Irfa’i Nahrowi An-Naqsyabandi menjelaskan bahwa umat mesti
membedakan dengan tegas yang mana ulama dan yang mana sekadar khutaba’ (penceramah). Ia menyampaikan hal itu pada pengajian rutin di kesempatan Ramadhan tahun ini.
“Jangan
kaburkan istilah ulama dengan khutaba, sabda Rasulullah, sebagaimana
diperingatankan oleh Sahabat Ibnu Mas'ud RA, "Sesungguhnya kalian
sekarang ini pada zaman yang masih banyak ulamanya, sedikit tukang
ceramahnya. Dan sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu zaman yang
banyak tukang ceramahnya dan sedikit ulamanya," tuturnya, pada
kesempatan ngaji sore di Pesantren Qoshrul Arifin Kasepuhan Atas Angin,
Cikoneng, Ciamis. Kemudian beliau membacakan surat Al-Fathir: 28.
Kedudukan ulama itu sangat tinggi sekali, lanjutnya. Ulama itu adalah mereka yang takut (yakhsya)
kepada Allah. Hanya para ulamalah yang takut kepada Allah. Dengan kata
lain, hanya orang pandailah yang takut kepada Allah. Kalau Allah
melarang membuka aib orang lain, sedang dia tahu membuka aib itu
dilarang, dan dia membuka aib orang lain di muka umum, menghina dan
memperolok-olok, bukankah ulama.
“Ulama itu pewaris Nabi, sementara Nabi kita tidak memiliki tutur kata yang fahisy dan tidak pula mutafahisy (keji,
jorok dan menyakitkan hati). Bisakah orang seperti itu dikatakan
ulama?” Mencaci-maki sesembahan selain Allah saja tidak boleh, kenapa
mencaci-maki sesama Muslim, sesama anak bangsa?” tanya beliau menyirat
keprihatinan.
Seandainya orang yang berkata
keji, jorok dan menyakitkan hati dikatakan ulama, mereka termasuk ulama
apa namanya? Apakah tidak lebih baik seandainya gelar ulama itu biar
Allah saja yang memberikannya, tegasnya.
“Mari
kita pahami Islam; Al-Qur'an dan Al-Hadits sampai hakikatnya. Jangan
sekadar kulitnya saja. Demikianlah agar hati kita tidak keras, sekeras
batu bahkan lebih, dan agar kiblat pandang awamul muslimin tepat (tidak
salah),” tutur Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah ini lebih
memperjelas.
Kiyi yang didapuk menjadi anggota
Dewan Khas PB Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) ini mengajak agar
menjadikan momentum puasa di bulan Ramadhan ini sebagai sarana mujahadah
untuk memperbaiki diri.
“Mari di bulan
Ramadhan ini kita sempurnakan puasa agar kita termasuk orang muttaqin,
orang yang bertaqwa; orang yang terjaga akal bicaranya, terjaga jiwa
perasaannya, hati dan perbuatannya dari hal-hal yang dilarang oleh
Allah,” pungkasnya. (Fuad Athor/Abdullah Alawi-NU Online)
0 Comments