Purworejo, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Achmad Chalwani Nawawi menjelaskan bahwa peran santri dalam melawan penjajah dan ikut merebut kemerdekaan tidak sedikit.
Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Achmad Chalwani Nawawi menjelaskan bahwa peran santri dalam melawan penjajah dan ikut merebut kemerdekaan tidak sedikit.
"Dan di antara para santri itu adalah Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa yang legendaris itu," ujarnya.
Hal ini disampaikan dalam Diskusi Interaktif Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Purworejo, 'Membaca dan Meneladani Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro Bendoro Raden Mas Ontowiryo: Kepemimpinan dan Religiusitasnya dalam Perjuangan Perang Jawa', Sabtu (7/9) malam, di Masjid Santren, Bagelen, Purworejo.
Dijelaskan, sejak kecil dirinya sudah hafal nama lengkap Pangeran Diponegoro, setelah mendengar ceramah almarhum KH Yasin Yusuf Blitar, ketika waktu itu orator legendaris NU ini berpidato di Alun-Alun Purworejo.
“Kata Pak Yasin, Diponegoro itu nama lengkapnya: Kiai Haji Kanjeng Bendoro Raden Mas Ontowiryo Abdul Hamid Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Pranotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong,” ungkap Kiai Chalwani, dengan lancarnya.
“Ketika Wali Kota Magelang mengundang saya Haul Diponegoro tahun kemarin, di komplek kamar Diponegoro di eks-Karesidenan Kedu, sekarang namanya Bakorwil II, dekat bekas kantor BPK RI pertama. Saya bersama Pangdam Diponegoro. Apa yang saya baca di dalam sejarahnya bahwa Diponegoro punya tiga peninggalan," imbuhnya.
Dikatakan, dirinya melihat langsung dengan memasuki kamar Diponegoro. Diponegoro punya tiga tinggalan yang berkaitan dengan keagamaan, yakni Al-Qur'an, Tasbih, dan Taqrib (kitab fathul qarib).
"Kenapa Al-Qur'an? karena Diponegoro adalah seorang Muslim. Kenapa tasbih? karena Diponegoro ahli dzikir, dan bahkan penganut tarekat,” jelasnya panjang lebar, di hadapan puluhan pengurus Ansor dan warga NU Bagelen.
Guru Besar Ilmu Pertahanan di Jakarta Prof Salim Said, lanjut Kiai Chalwani, mengatakan Diponegoro tokoh tarekat. Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan mengatakan, Diponegoro guru Tarekat Qadiriyyah. Dalam sejarah yang lain, Diponegoro pun mengamalkan Tarekat Syathariyyah, seperti almarhum Mbah Imam Puro, salah satu tokoh ulama yang dihormati di Kabupaten Purworejo.
Peninggalan yang ketiga, lanjut Pengasuh Pesantren An-Nawawi ini, yang masyhur adalah kitab Fatkhul Mu’in. Akan tetapi, setelah beliau melihat langsung di sana, bukan Fatkhul Mu’in tapi Taqrib-nya, Matan Abu Suja’ (yaitu kitab kuning yang dipakai di pesantren bermadzhab Syafii).
“Jadi Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka, karena bermadhab syafi’i, Diponegoro shalat tarawih 20 rakaat, shalat shubuh memakai doa qunut, jumatan adzan dua kali, shalatnya memakai ushalli, sehabis shalat wiridan (mengamalkan wirid), jika Ruwah Nyadran, ketika meninggal ditalqin. Itu Diponegoro,” ungkap kiai yang kerapkali mengenalkan NU, Tarekat, dan pesantren ini dalam tiap ceramahnya.
Selain Kiai Chalwani, hadir sebagai narasumber dalam Diskusi Interaktif ini adalah Ki Roni Sodewo, Ketua Patra Padi (Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro) dari Wates Kulonprogo DIY, dan Ki Sudarto (Budayawan, Sastrawan dan Dalang) dan Loano Purworejo.
Ketua PC GP Ansor Purworejo HM Haekal menjelaskan, Diskusi Interaktif ini digelar untuk kembali mengangkat sejarah yang mulai dilupakan oleh generasi muda hari ini.
“Selama ini gerakan kita banyak yang menggunakan simbol-simbol umum dan nasional dalam gerakan. Kita mencoba mengangkat Pangeran Diponegoro," tandasnya.
Dikatakan, selain pahlawan nasional, Pangeran Dipnegoro juga masih ada hubungannya dengan Purworejo, karena Bagelen khususnya dan Purworejo umumnya ini masuk dalam wilayah pertempurannya. Banyak tokoh di sini yang bersinggungan dengan beliau,” ungkap kerabat KH Saifuddin Zuhri ini, menjelaskan.
Kontributor: Ahmad Naufa
Editor: Muiz
Editor: Muiz
0 Comments