Berbicara generasi muda NU, tidak hanya berbicara mengenai masa lalu,
dan kini, tetapi juga berbicara dan merencanakan masa depan. Tidak
hanya 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun namun juga 100 tahun atau
200 tahun ke depan. Generasi muda NU adalah lintasan waktu tak terbatas.
Bagaimana jadinya, jika waktu yang tak terbatas itu dibiarkan begitu
saja tanpa sebuah pemikiran atau strategi khusus?
Alih-alih bonus demografi dan perubahan jaman yang tengah berjalan
deras bisa dijinakan dan dimanfaatkan, bisa jadi malah terperosok
menjadi korban globalisasi kapital di era pasar bebas, globalisasi Islam
Garis Keras dan pemiskinan pedesaan. Kegundahan masa depan generasi
muda NU di tengah bangsa Indonesia yang sedang mengalami bonus
demografi atau ledakan penduduk produktif serta himpitan liberalisasi
pasar dan globalisasi Islam garis keras inilah pokok pangkal ide di buku
“Ansor dan Tantangan Kebangsaan”.
Buku yang ditulis oleh Rizqon Halal Syah Aji, yang merupakan aktivis
Ansor sekaligus aktivis sosial dan akademisi berbasis demografi ini
memberikan pencerahan sekaligus refleksi terhadap permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia dan generasi muda NU pada umumnya. Bonus
demografi adalah kondisi melimpahnya usia produktif antara 15 – 65 tahun
yang mencapai 66,5% dari 250 juta penduduk Indonesia saat ini. Dan
bonus demografi ini akan terus bertambah sampai 2030.
Proporsi usia produktif yang besar dalam bonus demografi ini adalah
peluang besar Indonesia untuk menjadi kampiun ekonomi. Namun juga
sekaligus ancaman sosial besar jika tanpa akses pendidikan yang luas,
ketiadaan lapangan kerja dan nir visi kebangsaan. Dan juga bencana
demografi dari sisi sosial religius, jika generasi bonus demografi
tersebut adalah generasi anti NKRI dan intoleran terhadap perbedaan.
Tesis buku menyatakan bahwa bonus demografi adalah peluang besar bagi
generasi muda NU dan Bangsa Indonesia jika generasi muda ini terkelola
dengan baik, memiliki akses pendidikan, kesehatan dan ketrampilan yang
baik. Ada peluang pertumbuhan ekonomi yang baik dan kompetitif dalam
pasar kerja Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau masyarakat ekonomi
lainnya. Artinya bisa berarti barang, jasa dan tenaga kerja kita bisa
dijual kemana-mana dalam masyarakat ekonomi itu, atau sebaliknya, bangsa
Indonesia hanya menjadi pecundang dan penonton dari serbuan barang,
jasa dan tenaga kerja.
Tesis selanjutnya, bonus demografi ini akan menjadi bencana demografi
jika jumlah penduduk produktif yang besar itu tidak memiliki akses
pekerjaan dan kehilangan lapangan kerja bermartabat. Kerentanan sosial
menjadi bom waktu yang nyata. Terlebih ditengah sawah yang terus
menghilang akibat pupuk mahal, irigasi buruk, permainan harga jual beli
panen, bibit langka dan nelayan telah sandar dayung, karena solar mahal
serta kalah dengan kapal-kapal nelayan besar, migrasi ke kota atau luar
negeri sebagai buruh migran di kalangan warga pedesaan Jawa, Lombok,
Sulawesi Selatan yang menjadi basis NU menjadi hal tiada terelakan. Ini
adalah proses pemiskinan pedesaan dan urban land grabbing. NU sebagai
organisasi Islam terbesar di pedesaan menjadi korban utama proses ini.
Tesis berikutnya, bonus demografi ini akan menjadi bencana demografi
jika jumlah penduduk produktif yang besar itu, di kalangan NU dan
kelompok toleran lain itu teracuni oleh gerakan Islam radikal
transnasional. Generasi muda NU dalam bonus demografi ini hanya menjadi
generasi salah didik dan salah paham. Dalam tangan generasi salah didik
dan salah paham ini, Islam tidak hanya berwajah marah, tetapi juga
pembenci, pemberang dan pembunuh segala yang beda. Generasi muda NU,
nantinya sangat ironis tidak hanya dikenal sebagai pemasok buruh migran
tetapi juga pemasok bagi kelompok teroris dan intoleran. Ini jelas
sebuah tantangan kebangsaan yang dihadapi NU dan bangsa ini.
Memahami potensi bencana demografi, penulis yang merupakan alumni
Pascasarjana Kependudukan dan Demografi Universitas Indonesia,
menawarkan revitalisasi nilai-nilai Aswaja sebagai pembangunan karakter
NU sekaligus strategi kebudayaan NU. Penulis percaya, Aswaja adalah
solusi dari tantangan kebangsaan yang ada. Aswaja adalah jalan
kebudayaan dan politik yang mengembalikan NU sebagai Muslim yang
sejahtera, bermatabat dan rahmat bagi seluruh alam.
Menurut penulis, Aswaja adalah teori, metodologi dan gerakan sosial
khas NU. Menurut penulis Aswaja adalah teori iman khas NU yang telah
dikembangkan dan lahir dalam refleksi sanubari para pendiri NU, serta
diwarisi sejak jaman Nabi Muhammad dan sahabat yang empat hingga Wali
Sembilan. Aswaja adalah metodologi iman dan kemanusiaan NU yang mencoba
membumikan Islam dengan segala kemanusiaanya yang ramah, toleran dan
menghormati segala budaya dan moralitas masyarakat tempat. Aswaja adalah
metode Islam nusantara yang menyegarkan kembali Islam sebagai rahmat
bagi seluruh alam. Secara gerakan sosial, Aswaja adalah gerakan sosial
di kalangan organisasi NU dan warga NU untuk menciptakan perdamaian,
solidaritas dan kerjasama dengan visi misi kebangsaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Apa hubungannya dengan Ansor dan mengapa Ansor? Menurut penulis Ansor
secara kesejarahan dan gerakan adalah anak kandung NU. Sebagai
organisasi kemasyarakatan pemuda NU harus berada dalam garda depan
tantangan dan peluang kependudukan ini. ANSOR harus berani memastikan
dan menjadi garda terdepan bahwa limpahan bonus demografi Indonesia
mampu menjadi tulang punggung melesatnya ekonomi bangsa dan duta Islam
sebagai rahmat seluruh alam.
Jika hendak berhitung, keberadaan dalam garda depan tantangan dan
peluang kependudukan ini, bagi Ansor adalah tanggungjawab moral untuk
memastikan 140 juta anggota NU yang 66,6% atau 93 juta angotanya adalah
usia produktif itu menjadi manusia yang bermartabat dan berdaulat dalam
ekonomi global. Selain menjadi manusia toleran duta Islam sebagai rahmat
seluruh alam. Penulis buku ini, mendorong warga NU, khususnya untuk
memiliki cita-cita kebudayan dan cita-cita politik bersama untuk
melahirkan generasi muda NU dan generasi Indonesia ummnya, untuk
bermartabat, berdaulat dan nasionalis di bawah NKRI.
Akhir kata, buku ini tidak hanya bermanfaat untuk dibaca tetapi juga
direnungkan untuk menjadi gerakan sosial di kalangan muda NU.
Setidaknya, melalui buku ini, penulis memberi sinyal kewaspadaan
sekaligus motivasi bersama yang tidak hanya penting bagi generasi muda
NU tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Buku yang ditulis aktivis Ansor
ini bisa menjadi sumbangan besar terhadap NU dan bangsa ini untuk selalu
kritis dan sensitif menyikapi situasi jaman dan perubahan besar yang
selalu terjadi dan akan terjadi. Selamat membaca. Tabik!.
***Judul: Ansor dan Tantangan Kebangsaan
Penulis: Rizqon Halal Syah A.
Pengantar: KH. Ma’ruf Amin, Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto, dan H. Nusron Wahid
Penerbit: Republika
Cetakan: 1, Oktober 2015
Halaman: 206 Hal + Indeks
Peresensi: HM. Munif Sulaiman. SH, MA.
0 Comments