Sudah lama kita yakini, perjuangan melawan korupsi merupakan perjuangan yang sejalan dengan spirit keagamaan (ruhul jihad). Dalam situasi seperti sekarang ini, perang melawan korupsi bisa disepadankan dengan jihad fi sabilillah. Tidak ada yang menyangkal bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan, bahkan ada yang menyebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)
yang tidak bisa diperangi dengan cara-cara yang biasa. Karena itu,
diperlukan kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan untuk
memberantas kejahatan korupsi. Itulah jihad fi sabilillah.
Bukan
hanya aparat penegak hukum yang menangkap koruptor atau aktivis yang
jihad melawan korupsi, para pemimpin dalam berbagai tingkatan yang
menyelamatkan uang negara agar tidak dikorup, pada dasarnya dia sedang
menjalankan misi luhur agama, jihad fi sabilillah.
Pemimpin-pemimpin yang diberi amanat untuk mengelola uang dan kekayaaan
negara, dan mereka berhasil menunaikan tugas dengan cara
men-tasharruf-kan yang benar dan tidak dikorup, pada dasarnya mereka
menjalankan misi agung, yaitu misi menegakkan keadilan untuk
kemaslahatan (tahqiqul ’adli li ishlahi ar-ra’iyyah).
Korupsi
adalah tindakan memporak-porandakan keadilan. Implikasi korupsi adalah
terjadinya kerusakan, terlanggarnya hak asasi manusia, pemiskinan,
kehancuran tatanan kehidupan, dan sebagainya. Hal inilah yang diperangi
oleh semua agama. Karena itu, agama tidak bisa dijadikan tempat
berlindung para koruptor.
Jihad melawan korupsi
tidak bisa hanya dilakukan dengan menangkapi koruptor setiap hari
dengan harapan menimbulkan efek jera. Dalam praktik pemberantasan
korupsi di Indonesia membuktikan, penangkapan dan penghukuman para
koruptor tidak serta merta menghilangkan korupsi. Korupsi masih tetap
subur di mana-mana. Bukan berarti penindakan terhadap koruptor tidak
penting, tetapi hal ini tidak cukup. Upaya pencegahan yang selama ini
kurang menjadi prioritas perlu mendapatkan perhatian lebih serius.
Dalam Islam, upaya pencegahan dan penindakan terdapat dalam istilah dar’ul mafasid wa jalbul mashalih. Melakukan pencegahan korupsi pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya kerusakan (dar’ul mafasid), sedangkan melakukan penindakan dengan menangkap dan menghukum koruptor bisa disebut sebagai upaya jalbul mashalih. Dalam qawa’id fiqhiyyah terdapat kaidah bagaimana mengimplementasikan pencegahan dan penindakan: dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih,
upaya mencegah kerusakan (pencegahan korupsi) harus didahulukan
daripada mencari kemaslahatan (penindakan korupsi). Di sinilah
pentingnya aparat penegak hukum antikorupsi, terutama KPK, lebih
memperkuat upaya-upaya pencegahan korupsi, bekerjasama dengan masyarakat
sipil, khususnya organisasi keagamaan.
NU
sebagai organisasi sosial keagamaan mendukung penuh penguatan pencegahan
korupsi ini. Wawasan tentang antikorupsi tidak boleh hanya menjadi
pengetahuan, tetapi harus menginternalisasi menjadi nilai-nilai yang
memengaruhi tindakan. Perkembangan hukum antikorupsi dan juga
modus-modus baru korupsi harus diketahui masyarakat. Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) misalnya, merupakan hal baru yang harus diketahui
masyarakat. Tentu, saya sangat sedih jika tokoh NU atau pesantren yang
tidak tahu apa-apa, tiba-tiba terseret persoalan korupsi karena
ketidaktahuannya. Karena itu, penting sekali memberi wawasan kepada para
kiai dan tokoh-tokoh pesantren tentang perkembangan ini yang kapan saja
bisa menjerat kita.
Lembaga Bahtsul Masa’il
(LBM) NU juga bisa melakukan pembahasan sejumlah persoalan baru terkait
tindak pidana korupsi yang dibahas dalam buku ini, misalnya soal konflik
kepentingan (conflict of interest), pemilik keuntungan (beneficial ownership), perdagangan pengaruh (trading in influence), imbal balik (kickback),
dan sebagainya. Fiqih Islam perlu melihat persoalan-persoalan tersebut
untuk memberi perspektif pada perkembangan hukum antikorupsi.
Info Buku
Judul : Jihad NU Melawan Korupsi: Studi Kontemporer Fiqih Antikorupsi di Indonesia
Penulis : Rumadi Ahmad, dkk
Editor: Marzuki Wahid & Hifdzil Alim
Penerbit : Lakpesdam PBNU
Tahun : 2016
Tebal : XVI + 194
ISBN 978-979-18217-8-0
0 Comments