HUT
Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2016, besok pagi. Terkait HUT RI, ada satu hal yang menjadi momen “suci” bangsa
Indonesia khususnya di saat detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, yakni
pengibaran bendera pusaka Sang Saka Merah Putih oleh Pasukan Pengibar
Bendera Pusaka atau Paskibraka.
Sang Saka Merah Putih sebagai bendera
pusaka ternyata mempunyai catatan sejarah yang cukup heroik sehingga
harus diselamatkan dari penjajahan Belanda saat itu. Jika tidak, mungkin
anak cucu keturunan bangsa Indonesia sekarang ini tidak dapat
menyaksikan bendera pusaka sebagai salah satu bukti sejarah kemerdekaan
Indonesia. Tahukah anda bahwa sang penyelamat bendera pusaka dari tangan
penjajah saat itu adalah seorang habib, yang mempunyai darah pertalian
keturunan dengan Sayyidina Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa
shohbihi wa sallam?
Sayyidil Habib Muhammad Husein bin Salim
bin Ahmad bin Salim bin Ahmad Al-Muthahar, beliau lah sang penyelamat
bendera pusaka Sang Saka Merah Putih dari tangan penjajah. Tanpa jasa
beliau, bangsa Indonesia sekarang mungkin sudah tidak dapat melihat lagi
bendera pusaka yang dijahit oleh istri Presiden Soekarno, Ibu
Fatmawati. Saat itu, Presiden Soekarno menugaskan Habib Muhammad Husein
Muthahar yang berpangkat Mayor untuk menjaga dan menyelamatkan bendera
pusaka dari tangan penjajahan Belanda meski harus dengan mengorbankan
nyawanya. Amanah “menjaga bendera pusaka dengan nyawa” ini pun berhasil
dilaksanakan sang Habib dengan penuh perjuangan.
KH Achmad Chalwani Nawawi, pengasuh
Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo yang juga Mursyid
Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menuturkan bahwa Habib Muhammad
Husein Muthahar yang merupakan penyelamat bendera pusaka ini adalah
paman dari Habib Umar Muthohar Semarang.
Ingin tahu kisah sang Habib dalam
menyelamatkan bendera pusaka? Berikut adalah kisah selengkapnya tentang
penyelamatan bendera pusaka oleh Habib Muhammad Husein Muthahar ini yang
mesti diketahui oleh bangsa Indonesia khsusunya umat Islam agar tahu
bagaimana perjuangan para pendahulu bangsa ini dalam mempertahankan
kemerdekan Republik Indonesia.
KISAH HEROIK PENYELAMATAN BENDERA PUSAKA OLEH HABIB MUHAMMAD HUSEIN MUTHAHAR
Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih
adalah sebutan bagi bendera Indonesia yang pertama. Bendera Pusaka
dibuat dan dijahit oleh Ibu Fatmawati, istri Presiden Republik Indonesia
pertama, Ir. Soekarno. Bendera pusaka untuk pertama kali berkibar pada
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, di Jalan
Pegangsaan Timur 56 Jakarta, setelah Soekarno membacakan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Bendera dinaikkan pada tiang bambu oleh Pasukan
Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang dipimpin oleh Kapten Latief
Hendraningrat. Setelah dinaikkan, lagu “Indonesia Raya” kemudian
dinyanyikan secara bersama-sama.
Pada tahun pertama Revolusi Nasional
Indonesia, Bendera Pusaka dikibarkan siang dan malam. Pada 4 Januari
1946, karena aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat,
presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta
api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Bendera pusaka dibawa ke
Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno. Selanjutnya,
ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda
melancarkan agresinya yang kedua yang membuat Presiden, wakil presiden
dan beberapa pejabat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda.
Di saat-saat genting dimana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta
dikepung oleh Belanda, Presiden Soekarno sempat memanggil salah satu
ajudannya berpangkat Mayor yang bernama Sayyidil Habib Muhammad Husein
Muthahar, yang kemudian ditugaskan untuk menyelamatkan sang bendera
pusaka. Penyelamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian
“heroik” dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di persada bumi
Indonesia. Saat itu, Soekarno berucap kepada Habib Husein Muthahar:
“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”
Di saat bom-bom berjatuhan dan tentara
Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota, Habib Husein
Muthahar terdiam dan memejamkan matanya, berpikir dan berdoa. Amanah
“menjaga bendera pusaka dengan nyawa” dirasakannya sebagai
tanggungjawabnya yang sungguh berat. Setelah berpikir, Habib Husein
Muthahar pun menemukan solusi pemecahan masalahnya. Sang Habib ini
membagi bendera pusaka menjadi 2 bagian dengan mencabut benang jahitan
yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu. Dengan bantuan
Ibu Perna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil
dipisahkan. Oleh Habib Husein Muthahar, kain merah dan putih itu lalu
diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan
kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Sang
Habib hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Yang ada dalam pemikiran Habib Husein Muthahar saat itu hanyalah satu,
yakni bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah-putih
itu sebagai bendera, tapi hanya kain biasa, sehingga tidak melakukan
penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah
“prasasti” yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak
sejarah.
Benar, tak lama kemudian Presiden
Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (kota kecil di
pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka, sedangkan
wakil presiden Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka. Habib Husein
Muthahar dan beberapa staf kepresidenan juga akhirnya tertangkap dan
diangkut dengan pesawat Dakota. Mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di
sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Habib Husein Muthahar berhasil
melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta.
Di Jakarta Habib Husein Mutahar menginap
di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang sebelumnya tidak ikut
mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, Habib Husein Muthahar
indekost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto
Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama). Selama di Jakarta
Habib Husein Muthahar selalu mencari informasi dan cara, bagaimana bisa
segera menyerahkan bendera pusaka kepada presiden Soekarno. Pada suatu
pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima
pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang
Jalan Diponegoro) Jakarta. Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat
dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya.
Sore harinya, surat itu diambil oleh
Habib Husein Muthahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno
pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali
bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat
dibawa ke Bangka. Soekarno sengaja tidak memerintahkan Habib Husein
Muthahar sendiri datang ke Bangka dan menyerahkan bendera pusaka itu
langsung kepadanya. Dengan cara yang taktis, ia menggunakan Soedjono
sebagai perantara untuk menjaga kerahasiaan perjalanan bendera pusaka
dari Jakarta ke Bangka. Itu tak lain karena dalam pengasingan, Soekarno
hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam
perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Nations
Committee for Indonesia). Dan Sudjono adalah salah satu anggota delegasi
itu, sedangkan Habib Husein Muthahar bukan.
Setelah mengetahui tanggal keberangkatan
Soedjono ke Bangka, Habib Husein Muthahar berupaya menyatukan kembali
kedua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tangan
milik seorang istri dokter yang ia sendiri lupa namanya. Bendera pusaka
yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan
tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati,
tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya.
Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya
bendera pusaka diberikan Habib Husein Muthahar kepada Soedjono untuk
diserahkan sendiri kepada Presiden Soekarno. Hal ini sesuai dengan
perjanjian Soekarno dengan Habib Husein Muthahar sewaktu di Yogyakarta.
Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan
Soekarno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Habib Husein
Muthahar. Sejak itu, Sang Habib tidak lagi menangani masalah pengibaran
bendera pusaka.
Tanggal 6
Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali
ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal
17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi di halaman Istana
Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Pada 27 Desember 1949, naskah
pengakuan kedaulatan lndonesia ditandatangani dan sehari setelah itu
Soekarno kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik
Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta pun
kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Hari itu juga, bendera
pusaka dibawa kembali ke Jakarta. Dan untuk pertama kalinya setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bendera pusaka Sang Saka Merah Putih
kembali berkibar di Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi 17
Agustus 1950. Karena kerapuhan bendera pusaka, sejak tahun 1968, bendera
yang dinaikkan di Istana Negara adalah replika yang terbuat dari sutra.
Pada tahun 1968, Habib Muhammad Husein
Muthahar membentuk organisasi mahasiswa Pasukan Pengibar Bendera Pusaka,
atau Paskibraka (Bendera Pusaka Flag Hoisting Troop). Paskibraka inilah
yang nantinya akan selalu bertugas sebagai pasukan pengibar bendera
pusaka pada setiap upacara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia hingga
sekarang. Selain membentuk Paskibraka, beliau pun menyusun tata cara
pengibaran bendera pusaka. Atas jasanya ini, beliau mendapat julukan
Bapak Paskibraka Indonesia.
SANG KOMPONIS LAGU INDONESIA YANG FENOMENAL, HARI MERDEKA, DAN HYMNE SYUKUR
Habib Muhammad Husein Muthahar tidak
hanya dikenal sebagai penyelamat bendera pusaka dan pendiri Paskibraka
saja tetapi beliau juga seorang komponis lagu Indonesia yang hebat.
Habib yang dikenal dengan nama H. Mutahar ini telah menghasilkan ratusan
lagu Indonesia, seperti lagu nasional Hari Merdeka, Hymne Syukur, Hymne
Pramuka, Dirgayahu Indonesiaku, juga lagu anak-anak seperti Gembira,
Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk, dan lain-lain.
Lagu Hari Merdeka dan Hymne Syukur
adalah salah satu lagu fenomenal yang diciptakan oleh Habib Muhammad
Husein Muthahar. Terkait penciptaan lagu Hari Merdeka, ada satu cerita
yang menarik. Ternyata inspirasi lagu Hari Merdeka ini muncul secara
tiba-tiba saat beliau sedang berada di toilet salah satu hotel di
Yogyakarta. Bagi seorang komponis, setiap inspirasi tidak boleh
dibiarkan lewat begitu saja. Beliau pun cepat-cepat meminta bantuan Pak
Hoegeng Imam Santoso (Kapolri pada 1968 –1971). Saat itu Pak Hoegeng
belum menjadi Kapolri. Sang Habib menyuruh Pak Hoegeng untuk
mengambilkan kertas dan bolpoin. Berkat bantuan Pak Hoegeng, akhirnya
jadilah sebuah lagu yang kemudian diberi judul “Hari Merdeka”. Sebuah
lagu yang sangat fenomenal dan sangat terkenal yang banyak dinyanyikan
oleh bangsa Indonesia, bahkan anak-anak pun sangat hafal dan pandai
menyanyikannya.
Berikut lirik lagu Hari Merdeka ciptaan Habib Muhammad Husein Muthahar:
Hari Merdeka
Tujuh belas agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
MerdekaSekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap sedia
Membela negara kita
Selain “Hari Merdeka”, lagu berikut juga
menjadi karya fenomenal beliau. Judulnya “Syukur”. Lagu ini
tercipta setelah menyaksikan banyak warga Semarang, kota kelahirannya,
bisa bertahan hidup dengan hanya memakan bekicot. Berikut lirik lagunya:
Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karuniamu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
Kehadiratmu Tuhan
Dan masih banyak lagi karya fenomenal beliau yang lainnya.
Habib Muhammad Husein Muthahar meninggal
dunia di Jakarta pada usia hampir 88 tahun, pada 9 Juni 2004 akibat
sakit tua. Semestinya beliau berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
(TMP) Kalibata dengan upacara kenegaraan sebagaimana penghargaan yang
lazim diberikan kepada para pahlawan. Tetapi, beliau tidak menginginkan
itu. Sesuai dengan wasiat beliau, pada 9 Juni 2004 beliau dimakamkan
sebagai rakyat biasa di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut Jakarta
Selatan dengan tata cara Islam.
Allahu yarhamhu, semoga Allah senantiasa
melimpahkan rahmat (kasih sayang) kepada beliau, Sayyidil Habib
Muhammad Husein Muthahar. Semoga jasa dan perjuangan beliau untuk Tanah
Air Indonesia dibalas dengan surga dan keridhaan Allah subhanahu wa
ta’ala. Semoga pula beliau tercatat sebagai pejuang yang syahid. Amin Ya
Robbal ‘Alamin, Alfatihah….
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-71, JAYALAH NEGERIKU JAYALAH BANGSAKU
17 AGUSTUS 1945 – 17 AGUSTUS 2016
17 AGUSTUS 1945 – 17 AGUSTUS 2016
Sumber : http://www.elhooda.net/2015/08/habib-muhammad-husein-muthahar-penyelamat-bendera-pusaka-sang-saka-merah-putih/
0 Comments